Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh: Surya Agritama
Ketika mencoba mengamati dan membaca realitas sosial-politik di Indonesia, dinamika kesetaraan gender dan paradigma mengenai gerakan penyetaraan gender nampaknya masih mengalami stagnasi yang begitu memprihatinkan.
Membicarakan kesetaraan gender, maka gerakan feminisme adalah salah satu topik ciamik yang jarang absen dari pembicaraan. Namun, kendalanya — paradigma feminisme hingga saat ini masih dipandang kabur oleh masyarakat luas, walhasil diskusi tentang feminisme justru kerap berubah menjadi diskursus yang destruktif dan mendistorsi pola pikir.
Ironisnya, sejauh ini sentimen lintas gender nampaknya masih menjadi hambatan dalam banyak diskursus feminisme. Akibatnya, di ruang-ruang diskusi justru kerap dipenuhi dengan argumentasi dangkal yang bersifat defensif, sehingga menyulitkan upaya untuk menciptakan atmosfer diskusi yang lebih kritis dan edukatif, sehingga mampu menghasilkan buah pikiran yang proporsional.
Sementara itu, hambatan lain juga timbul akibat kesalahan pemantik ketika memulai forum diskusi — kerap kali ‘feminisme’ yang menjadi poin utama justru kurang dibahas secara tuntas, kerapnya akselerasi antara pembahasan umum ke khusus atau sebaliknya seakan terburu-buru dan cenderung menggiring ke arah-arah yang sensitif.
Seharusnya, di tengah kondisi feminisme yang begitu asing di benak masyarakat luas, pemaparan yang komprehensif dan pendekatan yang bijak sangatlah penting. Sebab, feminisme masih dianggap sebagai isu yang kontroversial, bahkan kerap disalahpahami sebagai ancaman bagi nilai-nilai tradisional. Itu sebabnya perlu pertimbangan yang matang dalam pendekatannya.
Alih-alih — fokus untuk menyatukan pandangan lalu secara kritis membongkar struktur sosial yang kompleks, namun sebagian orang justru terjebak dalam kubangan ego yang mengakibatkan sulitnya membendung keluarnya beragam narasi provokatif dan dipaksakannya sudut pandang subjektif ke sana-ke mari. Akibatnya, forum diskusi sulit untuk berjalan kondusif.
Namun, hal tersebut sebenarnya lumrah terjadi. Jika kita menelisik perkembangan feminisme dari kelahirannya hingga era kontemporer, tampak jelas bahwa paradigma pemikiran feminisme telah mengalami banyak perubahan yang signifikan. Terutama bila dianalisis secara rinci dari gelombang pertama hingga munculnya postfeminisme pada gelombang ketiga, berbagai aliran feminisme turut terlahir — mulai dari yang bersifat rekonstruktif, hingga yang jauh menyimpang dari tujuan awal gerakan.
Diskursus tentang feminisme masih berada dalam posisi genting dan menbutuhkan penguatan landasan teoritis yang kokoh, terutama melalui pembacaan terhadap sisi historisnya. Banyaknya kesalahpahaman terhadap konsep feminisme ternyata timbul karena minimnya proses pemaparan yang mendalam, baik dari aspek tekstual maupun kontekstual.
Menelisik secara historis, lahirnya gerakan feminisme berakar dari timpangnya kekuasaan yang mengekang perempuan. Abad ke-18 menjadi tonggak awal lahirnya feminisme gelombang pertama, yang ditandai oleh terbitnya tesis fenomenal yang berjudul ‘A Vindication Of The Rights Of Women’ pada tahun 1792 di Inggris. Karya itu ditulis oleh Mary Wollstonecraft sebagai bentuk keresahannya terhadap sistem sosial yang saat itu sangat mendiskreditkan perempuan.
Wollstonecraft menjelaskan bahwa, akar dari perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dalam realitas kehidupan masyarakat, diakibatkan — lemahnya intelektualitas perempuan. Dengan kata lain, perempuan pada saat itu sangat dibatasi ruang intelektualnya, sehingga mengakibatkan maraknya kedunguan. Konsekuensi yang akhirnya dihadapi oleh perempuan ialah dikerdilkannya hak-hak mereka, terutama hak berpolitik dan ekonomi.
Maka wajar jika kemudian perempuan dianggap tidak patut berpolitik atau berkecimpung ke ranah-ranah ekonomi, sebab selama berabad-abad nalar kodratinya sebagai manusia berakal telah sengaja ditekan bahkan “dibunuh” secara struktural dan sistematis.
Pendiskreditan terhadap perempuan di Inggris pada kala itu tidak hanya terjadi di sektor politik, tetapi juga merambah sektor industri, bahkan ranah keluarga. Awalnya, keresahan muncul karena minimnya perwakilan perempuan dalam panggung politik—bahkan bisa dikatakan hampir mustahil bagi perempuan untuk memperoleh posisi tersebut dengan mudah. Lalu, di dalam keluarga, praktik jual-beli istri, bahkan anak perempuan, juga marak terjadi.
Dapat dipahami bahwa feminisne gelombang pertama muncul sebagai respons terhadap ketimpangan sosial yang dialami perempuan, bukan atas sentimen lintas gender , yang secara dangkal sering distigmatisasi dan menyelimuti persepsi publik tentang gerakan feminisme.
Itu sebabnya gagasan yang dibawa oleh feminisme gelombang pertama meliputi: kesetaraan hukum, persamaan hak memilih, hak pendidikan (intelektual), dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hingga puncaknya pada tahun 1918 yang itu menjadi titik keberhasilan dari feminisme gelombang pertama.
Sementara, keberhasilan feminisme gelombang pertama ternyata hanya bertahan sejenak. Sekitar 40 tahun setelahnya, gejolak feminisme kembali muncul. Tepatnya pada tahun 1960-an, feminisme gelombang kedua lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap hasil yang belum sepenuhnya tercapai oleh feminisme gelombang pertama. Selain itu, ketika menjenguk realitas yang dihadapi buruh perempuan, fakta pahit pun masih terungkap: upah yang diterima pekerja perempuan sangat timpang dibandingkan dengan pekerja laki-laki.
Pasca gelombang pertama telah usai, beberapa gagasan yang dibawa ternyata belum sepenuhnya sukses mendorong tercapainya kondisi yang optimal. Feminisme gelombang kedua lahir bukan hanya melanjutkan estafet perjuangan gelombang pertama, tetapi juga membawa sejumlah tuntutan baru, seperti mempertanyakan peranan gender dan kesetaraan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki.
Betty Freiden lewat bukunya The Feminine Mystiqiu mengecam keras pencitraan tradisional perempuan yang diproduksi media. Menurutnya, dengan dibangunnya citra perempuan sebagai ibu rumah tangga yang hanya mencuci, memasak, mengurusi anak dan berbagai pekerjaan domestik semata merupakan bentuk pengerdilan terhadap potensi intelektual dan profesionalitas perempuan. Citra ini tak hanya sesat, tetapi juga melanggengkan adanya subordinasi perempuan pada lingkup masyarakat patriarkal.
Feminisme gelombang kedua berkembang seiring dengan terbagi duanya aliran feminisme, yakni liberal dan radikal. Meski demikian, jika ditilik kembali, gejolak feminisme gelombang pertama sebetulnya telah mengandung landasan ideologis yang kuat. Tuntutan-tuntutan pada masa itu secara garis besar merepresentasikan nilai-nilai liberalisme — terutama dalam hal kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri dan berhak mengakses ruang-ruang publik dengan imbang.
Secara kecenderungan ideologis, kedua aliran tersebut memiliki perbedaan yang mencolok. Feminisme liberal cenderung berjalan pada koridor dan prinsip gerakan kanan moderat. Sedangkan feminisme radikal condong diselimuti semangat gerakan kiri, yang menginginkan perubahan struktural fundamental terhadap sistem patriarki, termasuk juga melakukan dekonstruksi terhadap institusi sosial yang dianggap melanggengkan patriarkisme.
Di dalam kedua aliran itu termaktub sejumlah gerakan feminisme ideologis, antara lain feminisme sosialis, Marxis, dan eksistensialisme. Dalam dinamikanya, gerakan feminisme juga turut mengintegrasikan pemikiran tokoh-tokoh besar sebagai fondasi idelogis gerakan. Sebagai contoh, feminisme Marxis yang berfokus pada penghapusan struktur kelas sosial berbasis gender, serta menolak konsep kepemilikan atas tubuh perempuan oleh suami atau institusi patriarkal lainnya.
Jika Marxisme menolak kepemilikan pribadi atas alat produksi karena menyebabkan penindasan kelas, maka feminisme Marxis menolak kepemilikan pribadi atas tubuh perempuan oleh suaminya, sebab hal itu mereproduksi anggapan bahwa perempuan hanyalah komoditas pasif dan objek seksual dalam sistem yang ada.
Salah satu pemikir sekaligus tokoh feminisme radikal eksistensial menyoroti adanya diskriminasi yang masih mengitari kaum perempuan pada kala itu, salah satunya ialah — perempuan dalam struktur sosial merupakan masyarakat kelas dua, dan laki-laki berada pada posisi yang lebih superior atau kelas pertama. Demikian keresahan yang ditulis Simone De Beavoir lewat karyanya yang berjudul The Second Sex.
Selain itu, Beavoir lewat tulisannya menegaskan sebab dari adanya krisis eksistensial yang dialami oleh perempuan diakibatkan oleh pandangan dualistik yang memposisikan laki-laki sebagai subjek universal (standar manusia) sedangkan perempuan hanya sebagai “yang lain”, objek. Itu sebabnya, gelombang kedua begitu deras mengkritik rekonstruksi gender, yang seolah dianggap sebagai takdir kehidupan. Padahal, gender merupakan hasil dari proses sosial-budaya, bukan kodrat biologis.
Hingga saat ini pula gerakan feminisme masih konsisten untuk mendobrak rekonstruksi gender yang timpang. Meskipun feminisme gelombang ketiga telah banyak mengembangkan gerakannya menjadi lebih inovatif dan meluas.
Contohnya saja dalam gelombang ketiga muncul ekofiminisme yang bergerak dalam pelestarian lingkungan serta melirik berbagai isu-isu lingkungan dan berupaya mencegah adanya krisis ekologi yang disebabkan oleh keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam.
Gelombang ketiga turut pula mengkritik gerakan feminisme sebelumnya yang dirasa kuno untuk dilanjutkan, meskipun dalam konteks penolakan rekonstruksi gender yang timpang masih relevan untuk dilanjutkan.
Salah satu kritik dari feminisme gelombang ketika terhadap gerakan sebelumnya adalah feminisme selama ini terlalu fokus untuk menentang struktur, konstruksi gender dan sistem keluarga patriarkis, namun melupakan bahwa dilingkup perempuan sendiri terdapat diskriminasi. Selama ini feminisme terfokus pada gerakan perempuan kulit putih, tetapi ternyata rasisme terhadap ras masih sulit untuk dihapuskan meski keresahan yang dirasahan ialah sama.
Maka feminisme multikultural menggagas pola gerakan yang berfokus pada penolakan terhadap rasisme, dan mulai membedah akar penindasan perempuan yang ternyata bersumber dari kesatuan definisi, bukan dari kelas dan ras, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Feminisme muktikulturan membuktikan adanya kesatuan gagasan yang kuat, dan meninggalkan adanya sentimen atar ras, agama, dan lain sebagainya, hal itu terlihat dari gerakannya yang menunjukkan sinergitas perempuan yang satu, dan tidak dibedakan berdasarkan corak selain itu.
Menyoal sebab daripada gerakan feminisme, garis besarnya memang dipengaruhi oleh kesadaran distingtif- dualistik yang secara turun temurun melestari di sebagain besar masyarakat negara-negara barat. Jika dilihat polanya, kebiasaan memandang kelompok tertentu lebih superior daripada kelompok lain memang telah menjadi corak yang melekat dengan penduduk belahan dunia sebelah barat.
Kesadaran bahwa adanya struktur gender yang terbangun turun-temurun itulah yang akhirnya memicu adanya gelombang- feminisme tersebut. Dalam memahami adanya kelas-kelas sosial berkonteks gender yang berkembang, memang harus adanya keresahan yang timbul dari tekanan itu sendiri.
Ada beberapa sisi yang dapat dipertimbangkan dalam mentoleransi gerakan feminisme, karena selama ini gerakan apapun yang bersifat kontra, tentunya tetap memiliki sisi sentimennya masing-masing. Seperti halnya feminisme yang memiliki sentimen terhadap stratifikasi sosial berdasarkan gender dan sistem patriarkisme.
Tetapi persoalan ketidakadilan gender juga tak hanya menimbulkan konflik di belahan eropa sana. Seperti halnya di Indonesia sendiri, patriarkisme selama ini telah melekat dan menjalar sebagai konstruksi sosial-budaya sebagai peninggalan masa lampau.
Dapat dilihat bagaimana kehidupan bangsawan juga begitu mencerminkan adanya ketimpangan antara anggota perempuan dan laki-laki. Salah satu contohnya adalah budaya yang mengharuskan perempuan berjalanan jongkok ketika berhadapan dengan raja.
Pada ranah perkawinan, raja-raja terdahulu dikenal gemar berganti-ganti istri, bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Selain itu, budaya memiliki selir juga menjadi hal yang lumrah dan mempertegas posisi perempuan yang inferior. Citra hidung belang begitu melekat pada laki-laki kalangan ningrat khususnya di Jawa. Serupa dengan yang ditampilkan pada film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo (2017).
Gerakan feminisme di Indonesia juga dikenal cukup kuat, salah satu contohnya yaitu di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Gerwani berdiri sebagai organisasi perempuan terbesar pada masanya. Walaupun pada akhirnya dimusnahkan oleh orde baru karena dicap sebagai gerakan yang terafiliasi dengan PKI, sebab, basis gerakannya sama-sama berasal dari pemikiran-pemikiran kiri, seperti Marx dan Engels.
Lalu ada pula Kartini yang hingga kini masih menjadi simbol emansipasi perempuan di Indonesia. Walaupun berasal dari kalangan bangsawan/ningrat, namun hal itu justru yang menjadikan Kartini lebih terdorong untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan.
Melihat perjalanan historis gerakan feminisme yang begitu fenomenal, tentu keputusan untuk menolaknya merupakan kekeliruan. Walau laki-laki selama ini memang dicap sebagai pihak yang berseberangan dengan feminisme. Harus sipastikan terlebih dulu juga, apakah memang benar demikian? Untuk memastikan itu perlu adanya pembacaan yang mendalam pula tentang feminisme.
Buktinya banyak perempuan yang menyatakan bahwa mereka kurang setuju dengan feminisme. Apa sebabnya? Ya karena banyak gerakan feminis yang menyimpang dari fokus utamanya, pembalutan gerakan dengan sentimen juga menjadi faktor.
Tak sedikit laki-laki turut tergabung juga dalam gerakan pembebasan perempuan dari sistem pernindasan yang terjadi. Semua tergantung begaimana kita menyerap secara jernih maksud dari gerakan feminisme, karena jika sedikit saja tertanam patriarkisme dalam benak kita, tentu itu akan menyulitkan proses pemahaman dengan penuh kebijaksanaan.
Selain itu, di beberapa tempat, gerakan feminisme kerap menunjukkan adanya perundungan terhadap harga diri perempuan. Contoh pastinya adalah kampanye tanpa busana seperti yang dilakukan di Santiago, Chili, 9 Maret 2020 saat perayaan Hari Perempuan Sedunia kala itu. Yang justru memicu asumsi buruk terhadap feminisme. Bukannya mengangkat jati diri perempuan yang selama ini terinjak-injak, tapi justru memperlihatkan nihilnya kebijaksanaan yang menyelimuti gerakan itu sendiri.
Mengapa begitu? Karena dalam menyimbolkan kebebasan, tidak selamanya harus dengan mengeksploitasi tubuh secara vulgar di ruang publik. Terlebih lagi, tidak semua tempat di dunia ini memiliki norma yang sejalan dengan gerakan tersebut. Siapapun sepakat dengan pernyataan ini, apalagi memakai busana ialah simbol bahwa manusia memang diciptakan untuk dapat berpikir antara ranah privat dan publik atas tubuh kita sendiri.
Sepakat pula bahwa eksploitasi tubuh perempuan di media adalah kesalahan. Hingga kini masih banyak iklan-iklan yang menunjukkan adanya subordinasi terhadap perempuan, seperti iklan produk-produk rumah tangga yang sebagian besar masih memposisikan perempuan sebagai objek yang hanya berkecimpung dalam pekerjaan rumah tangga. Tanpa memperlihatkan laki-laki yang sebetulnya juga dapat mengerjakan itu.
Dilain sisi, pemberitaan tentang pelecehan seksual terutama yang korbannya ‘perempuan’ hingga kini masih konsisten menggunakan simbolisasi yang cederung memposisikan perempuan pada pihak yang tak berdaya. Tentu hal itu harus segera disudahi.
Mungkin dalam beberapa konteks media mencoba untuk menggambarkan realitas perempuan yang masih sering dirundung, namun hal itu justru menimbulkan kontroversi karena akar dari pelecehan adalah patriarkisme, dan nafsu tak terkendali yang masih menyelimuti pihak-pihak tertentu, terutama pelakunya. Bukan karena perempuan itu lemah. Dalam mengendalikan nafsu pun, perlu adanya kedewasaan berpikir.
Kurang adil rasanya jika hanya perempuan saja yang diharuskan menutup diri dengan dalih supaya tidak dilecehkan. Seolah memang ruang aman sulit untuk diberikan untuk perempuan yang memang dalam kulturnya terbiasa untuk menggunakan busana yang terbuka.
Semua ini tentang mindset yang genting untuk dibenahi secara merata. Kalau laki-laki bisa bebas membuka diri ditempat umum, lalu mengapa perempuan tidak? Toh tidak semua memiliki ajaran yang sama untuk menutup rapat-rapat bagian yang dirasa vital. Tidak semestinya yang menggunakan pakaian terbuka dapat disalahkan jika pelecehan terjadi.
Nalar patriarkis perlu segera dihapuskan dari berbagai lini kehidupan. Dalam rumah tangga pula, jangan sampai salah satu pihak merasa memiliki beban yang berlapis semasa menjalaninya. Kecerdasan salam menjalankan rumah tangga berada pada pembentukan sistem yang saling membahagiakan, mendukung dan membangun.
Siapapun itu, jika membahas sesuatu dengan penuh emosi, tentu hasil akhirnya akan kacau. Saya kurang sepakat juga dengan para feminis yang memantik diskusi tapi di awali dengan jastifikasi-jastifikasi terhadap pihak yang dirasa berseberangan dengan argumennya. Padahal pihak itu telah antusias untuk menghadiri diskusi, saya rasa mengahadiri adalah salah satu simbol kepedulian awal.
Tidak semua orang bisa dipaksakan untuk langsung sepemikiran, karena dalam membahas feminisme harus menyertakan konsteks yang jelas. Serta tujuan dari diskusi itu, apakah untuk pencerahan, kritikan semata, atau ingin mengajak semua pihak bersinergi dalam menumpas problematika yang masih terjadi.
Haruskah sentimen terhadap feminisme harus segera disudahi? Di sini saya memposisikan diri sebagai ‘manusia’ yang tertarik untuk memantik seluruh kalangan dalam memandang feminisme dengan lebih proporsional. Untuk keputusan setuju atau tidaknya, itu semua kembali pada diri masing-masing. Selagi argumentasi yang mendasari masuk akal.
Tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif dalam menelusuri gerakan feminisme dari awal kelahirannya hingga kini. Tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif tentang gerakan feminisme dari awal kelahirannya hingga kini. Sebab hanya dengan cara demikian — feminisme dapat dipahami secara objektif.
Sebagian orang menyuarakan kesetaraan, dan sebagian yang lain lebih condong menyuarakan keadilan. Namun keduanya berangkat dari semangat yang sama: menciptakan ruang hidup yang aman, nyaman, setara, dan adil bagi semua. Tidak ada yang merasa terbebani, tidak ada pula yang diistimewakan secara berlebihan.
Kehidupan sosial sesungguhnya dinamis, dan dalam dinamika itu semua memiliki peran yang sama berartinya. Sinergi antarkomponen menjadi fondasi utama dalam membangun gerakan sosial yang inklusif serta efektif, termasuk feminisme. Perlawanan yang tumbuh dalam gerakan ini bukan merupakan sentimen terhadap individu atau kelompok tertentu. Tetapi terhadap sistem yang selama ini menindas sebagian dari kita.
Siapa pun tak perlu menunggu giliran ataupun ajakan untuk berperan. Setiap makhluk sosial yang berpikir jernih tentu mendambakan hal yang sama: Kenyamanan hidup yang adil dan setara, tanpa ketimpangan yang menggejala secara turun-temurun.
Tentang Penulis
Surya Agritama, lahir di Klaten, Jawa Tengah. Tengah aktif sebagai Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tertarik pada isu-isu sosial, gender dan Hak Asasi Manusia.
Ig: @suryaagryy._