Ekosufisme; Rinjani dan Pandangan Dunia Sasak

Penulis: Lalu Muhammad Ilham Fajri

Salah satu kenikmatan tinggal di pulau Lombok adalah di waktu pagi, sebelum awan datang menutupi, cukup memandang horison langit utara, gunung Rinjani gagah berdiri disinari rinai mentari pagi. Rinjani punya magnet tersendiri,  kecantikan panorama alamnya yang memanjakan pandangan mata– pancaran auranya menyegarkan pandangan batin. Untuk merasakan kedua nikmat tersebut saya rasa benarlah kalimat pembuka dari pertunjukan dan peluncuran buku Mamiq Agus FN “Rinjani Perspektif Ekosufisme” bahwa cakrawala keindahan Rinjani tidak akan Anda peroleh dari sekadar pariwisata. 

Tentang Rinjani, saya teringat kisah perjalanan Reza Nufa yang mendapat petunjuk dari sebuah mimpi. Di antara rangkaian mimpi buruk yang menghantui masa hidupnya yang berat, Ia mendapatkan sebuah mimpi, ia tiba-tiba berada hamparan alam yang sangat Indah, savana hijau lapang membentang. Keesokan paginya, tayangan televisi menampilkan alam Rinjani dan intuisinya berkata: inilah yang saya mimpikan semalam. Perjalanan kaki yang ditempuhnya dari Ciputat ke Rinjani ternyata menjadi obat yang mampu menguraikan permasalahan dan kesemrawutan hidupnya. Ia menulis, “bersama hasrat bunuh diri, masa lalu yang serba ungu, dan secuil harapan untuk menemukan kembali  lajur-lajur yang hilang dalam hidup, kumulai langkah pertama menuju puncak Gunung Rinjani, dari Ciputat, kurang lebih 1700 kilometer panjangnya”. Selepas membaca catatan perjalanan “Pulang Ke Rinjani” itu, saya rasa ini bukan sekedar perjalanan biasa tetapi juga perjalanan spiritualitas yang ditempuh Reza Nufa. Di Pengantar buku Mamiq Agus FN yang baru terbit  ini, AS Rosyid (Penyunting Buku)  pun mengingat kisah perjalanan kawaannya, Reza Nufa dari ciputat ke Rinjani untuk berhaji. Saya rasa, ada benarnya Reza Nufa memposisikan Rinjani sebagai salah satu kiblat spiritualitas, karena bagi masyarakat Sasak sendiri pun sangat banyak ritual kebudayaan yang kaya nilai spiritual yang erat kaitannya dengan Gunung Rinjani. 

Bulan Juni 2025 lalu, Saya berkesempatan mengobrol dengan Raden Riko Agustian, pemuda adat Bayan. Raden Riko menceritakan begitu banyak kegelisahannya atas berbagai isu pariwisata dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengancam nilai spiritual-kebudayaan maupun ekosistem Gunung Rinjani. Permasalahan yang mengancam gunung Rinjani cukup kompleks, mulai dari manajemen dan pengelolaan pariwisata, isu akan dibangunnya kereta gantung, perilaku wisatawan yang bertentangan dengan awig-awig, perlindungan kawasan hutan adat dan masih banyak lagi. Persoalan-persoalan tersebut mempunyai inti permasalahan yang sama yakni perbedaan perspektif pemerintah pengelola pariwisata dengan masyarakat hukum adat di kawasan Rinjani. Nilai, bagi pariwisata modern cenderung pragmatis dengan melihat keuntungan-keuntungan dari segi material belaka. Mereka ingin agar banyak wisatawan yang berkunjung di kawasan Gunung Rinjani agar memperoleh profit sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan aturan-aturan adat (awig-awig) yang lebih dahulu ditetapkan leluhur untuk menjaga ekosistem Rinjani. 

Pagelaran peluncuran buku Mamiq Agus FN 29 Agustus 2025 kemarin menampilkan masalah ini dengan emosional melalui lakon monolog yang mewakili rasa sakit gunung Rinjani akibat eksploitasi Pariwisata. Sesosok Putri yang merepresentasikan gunung Rinjani dengan lantang menyuarakan perih pedihnya ketika banyak orang yang mengaku mencintainya, namun mereka hanya menjadikan Rinjani hanya sebagai objek hiburan tanpa mau turut andil untuk merawatnya dengan cinta tulus kasih. Mamiq Agus FN lewat buku terbarunya ini telah membuka cakrawala segar tentang bagaimana cara kita memandang Gunung Rinjani. 

Sufisme sangat erat, bahkan sebenarnya sangat sulit untuk dilepaskan dari budaya dan kehidupan masyarakat suku Sasak. Namun, respon masyarakat Sasak era modern saat ini sepertinya telah jauh terlepas dari akar kebudayaannya. Pemerintah, sepertinya betongkem jarang-jarang (hanya melihat namun tidak begitu memperdulikan) terhadap esensi dari sufisme Sasak. Maka dari itu saya kira subjudul dari buku Mamiq Agus FN ini seharusnya cukup menyentak masyarakat umum maupun pemerintah untuk peduli.  Di Cover buku di bawah judul bercetak tebal tertulis kalimat dengan font ukuran lebih kecil, jika dibunyikan saya kira kalimat itu seperti bunyi bisik-bisik yang punya tendensi untuk menyindir secara halus. Judul lengkap buku ini berbunyi,  RINJANI PERSPEKTIF EKOSUFISME: informasi-informasi yang Takkan Anda Peroleh dari Pariwisata. 

Memang benar saya kira, bahwa pariwisata Lombok masih sekedar menampilkan eksotisme semu. ‘Seperti mengencani manekin’, jika boleh saya mengibaratkan dengan satire yang agak kasar (mohon maaf). Lombok memang memiliki keindahan alam yang sangat eksotis nan memukau. Namun, pengalaman keterpukauan itu baru sekedar kekaguman terhadap rupa tanpa isi. Alam tak pernah diberikan kesempatan berbicara menyampaikan pesannya. Yang ada hanya tatapan-tatapan yang terkesan mengobjektifikasi alam, menjadikannya sebagai alat rekreasi dan komoditi. 

Kepribadian suku Sasak, tak pernah mengajarkan cara pandangan terhadap Alam dengan cara yang demikian. Filosofi utama suku Sasak adalah “idup sopoq” – artinya seluruh kehidupan di dunia ini pada dasarnya bersumber dari kejadian yang satu yakni penciptaan Allah SWT, apapun yang ada dalam kehidupan di dunia ini berasal dari kejadian yang sama yaitu Nur Muhammad. Demikian yang disampaikan Mamiq Agus FN di suatu kesempatan saya mengunjungi kediaman beliau Desember 2023. 

Seperti yang disampaikan Putri Beliau di akhir pagelaran kemarin, Beliau dengan keteduhannya senang membagikan ilmu untuk siapa saja yang membutuhkan semua dilayani dan tidak ada yang dikecewakan. Beliau menceritakan banyak hal tentang Sasak dan cerita Jatiswara yang waktu itu saya butuhkan untuk menjadi bahan penelitian skripsi. Bahkan beliau dengan murah hati menghadiahkan bukunya yang baru-baru saja diterbitkan waktu itu berjudul “Karakter Orang Sasak: Perkawinan Naskah Jatiswara dengan Naskah Rengganis” yang ditulisnya bersama Prof Nuriadi dan Bapak Syamsul Qadri. 

Novel Jatiswara karangan Mamiq Agus yang digubahnya dari naskah lontar atau takepan Jatiswara adalah gerbang awal bagi saya untuk mengenal sufisme sasak. Naskah Jatiswara sendiri tidak hanya populer di Lombok tetapi juga di Cirebon dan Kratonan Surakarta. Naskah tersebut kaya dengan nilai-nilai sufistik dan Mamiq Agus memasukkan warna lokal kebudayaan Sasak dalam Novel yang ditulisnya. Tokoh Jatiswara pun tampaknya bukanlah sekedar tokoh rekaan dalam karangan Sastra, tetapi juga tokoh historis penyebar Islam dari Champa sekaligus salah satu dari sembilan Wali Songo. Tak mengherankan apabila banyak aspek tradisi keagamaan, budaya, sastra di Nusantara yang mirip dengan apa yang ada di melayu Champ. Di Indonesia, karena minimnya pengetahuan historis tentang penyebaran Islam ini, praktrik tradisi spiritual keagamaan seringkali dituduh sebagai produk sinkretis, bid’ah dan bahkan sesat. 

Di Indonesia, Almarhum Prof. Abdul Hadi WM seringkali menjadi rujukan ketika membahas sastra sufistk.  Dalam bukunya “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” beliau memaparkan bahwa sastrawan kelas dunia Johann Wolfgang von Goethe dalam proses kepengarangannya pun banyak terilhami dari tradisi Islam yang ditulis oleh pengarang dari Arab, Parsi, India dan Cina. Bahkan Goethe mempelajari Al-Qur’an sejak muda dan mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok jenius dan religius. Ketertarikan Goethe pada tradisi Timur salah satunya karena kemuakan Goethe terhadap intelektualitas Barat yang kering dan cenderung materialistik. Hal tersebut senada dengan pandangan   Roger Graudy  dalam bukunya “Janji-janji Islam” bahwa Filsafat Barat semenjak era klasik Socrates, Aristoteles sampai dengan Descartes dan Jean Paul Sartre terlalu bertitik tolak pada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan Hegel dan Nietzche telah mengumumkan kematian Tuhan. Serta psikoanalisis Freud dan aliran strukturalisme telah mengumumkan kematian manusia. Semenjak itu, Filsafat Barat telah sampai pada kebuntuan. Ekonomi pembangunan yang diagungkan telah membawa manusia pada tujuan hidup yang konsumtif, serta kehilangan tujuan transendensi. Diiringi dengan perkembangan teknik senjata nuklir, manusia kini telah sampai pada ambang pintu kehancuran. Sangat disayangkan umumnya masyarakat di Indonesia menganggap produk-produk budaya dari Barat  lebih prestise dan meninggalkan budaya Timur tanpa pernah mau mempelajari dan mengembangkannya. 

Falsafah Sufisme yang menjadi pondasi kehidupan masyarakat Sasak saya rasa punya memiliki  keunggulan tersendiri dibanding filsafat Barat. Sufisme Sasak memiliki kesegarannya tersendiri untuk membangkitkan gairah zaman yang mengering di era modern ini. Mamiq Sirojudin salah seorang tokoh Adat di Desa Penujak yang saya jumpai tahun 2023 lalu, bercerita bahwa ketika berbicara tentang adat Sasak, maka mau tidak mau kita akan berbicara tentang tasawuf. Karena hal ini merupakan esensi dari segala adat yang kita lihat sehari-hari di masyarakat Sasak. Maka jika ditinjau dari teori Frithjof Scohun, tasawuf atau ajaran sufisme merupakan aspek esoteris dari kehidupan kebudayaan masyarakat Sasak. Sedangkan segala bentuk praktik kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat Sasak adalah sisi eksoterisnya. 

Mamiq Agus FN telah merincikan bagaimana sistem kebudayaan Sasak terbangun mulai dari sisi dalamnya sampai dengan sisi terluarnya. Beliau membagi nilai-nilai yang ada pada budaya (dari unsur intrinsiknya) menjadi tiga jenis yakni sistem nilai dasar, sistem nilai penyangga dan sistem nilai kualitatif. Nilai dasar yang melatarbelakangi seluruh kehidupan berbudaya masyarakat Sasak adalam Tindih, penyerahan diri, penuh penghormatan,punya rasa malu pada Si Epeyang Kula/ Neneq Kaji Saq Kuase/ Allah Ta’ala/Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Schuon tentang sisi esoteris bahwa sisi ini selalu menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.

Nilai Tindih tersebut akan terwujud apabila masyarakat Sasak memegang dan melaksanakan nilai-nilai Penyangga di antaranya : Maliq (pantang melakukan hal yang bertentangan dengan norma),  Merang (merasa terusik apabila melihat hal yang bertentangan dengan norma), Pamole (menghormati dan memuliakan orang lain) dan Semaiq (sikap sederhana dan secukupnya). Nilai Penyangga tersebut jika diperluas indikatornya maka akan melahirkan nilai-nilai kualitatif yang menjadi dasar relasi manusia selama hidup di dunia (being in the world). Beberapa Nilai kualitatif tersebut seperti : gine, gune, game, sewawe, terpi, paut, tao jauk aik dan masih banyak lagi. Nilai-nilai kualitatif tersebutlah kemudian yang berupaya ditampilkan dalam segala aspek kebudayaan Sasak yang kita lihat baik kebudayaan berupa ritual, hiburan maupun fungsional. 

Saya merasa ada keterkaitan kuat antara pandangan hidup masyarakat Sasak dengan konsep Islamic Worldview dari Sayyid Naquib Al-Attas yang menjelaskan bahwasanya  worldview bukan sekadar pandangan intelektual, tapi mencakup cara jiwa (ruhani) manusia memandang realitas dan kebenaran. Meskipun budaya dan kebudayaan Sasak lebih banyak menggunakan terma lokal dibanding terma-terma agama Islam yang cenderung berbahasa Arab, nilai-nilai Islam Kenabian tersebut telah diterima (receptio) dan dibahasakan ulang dengan simbol-simbol dan bahasa yang lebih sederhana sehingga lebih berterima ke masyarakat lokal. Sebagaimana yang pernah disampaikan Bapak Prof Nuriadi dalam diskusi mengenai “intelektualitas Sasak” yang saya tonton 2023 lalu, kurang lebih beliau menyampaikan: orang tua Sasak jaman dahulu mengajarkan kepada generasi penerusnya melalui simbol-simbol untuk melatih tidak hanya kecerdasan tetapi juga kepekaan. Selain itu agar generasi penerus tidak terjebak dalam pragmatisme dalam mengambil keputusan di alur sejarah yang dinamis. 

Khazanah budaya dan kebudayaan Sasak yang ditulis Mamiq Agus FN ini saya rasa sangat holistik dan penting untuk digaungkan sehingga benar-benar menjadi Worldview bagi masyarakat yang tinggal di pulau Lombok dan para wisatawan yang berkunjung ke Lombok pun seharusnya tertarik untuk mengenal dan belajar tentang bagaimana pandangan dunia orang-orang Sasak. Worldview tersebut dapat mengatasi berbagai permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia disebabkan oleh faktor “salah mengenal diri” (misrecognition). Akibat tidak mengenal hakikat kemahlukan dalam dirinya, seringkali manusia bertindak melampaui batas. Terlebih di era modern manusia terjebak dalam logika logosentrisme, kapitalisme, antroposentrisme, hedonisme, dan paham-paham lainnya yang kerap menimbulkan kekerasan baik dalam mekanisme fisik maupun simbolik. Sufisme yang tercermin dalam segenap aspek kebudayaan Sasak saya rasa, selalu mengajak manusia untuk mempertanyakan “siapa diri?” menembus batas-batas “ke-aku-an” sampai pada penemuan diri yang transenden. Mengenal diri secara holistik akan menuntun manusia untuk berpikir,merasa dan bertindak dengan benar (tidak hanya dalam artian das sein  tetapi juga das sollen). 

Sufisme tidak hanya mencakup urusan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga relasi kepada sesama manusia dan alam. Ekologi, dengan demikian tak terpisahkan dari tanggung jawab sufisme. Dalam beberapa Ayat-ayat Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Alam merupakan salah satu tanda kebesaran Tuhan. Alam merupakan salah satu sarana mengenal Tuhan. Manusia memiliki tanggungjawab untuk memelihara Alam. Dalam pagelaran peluncuruan buku kemarin, Prof Nuriadi pun memaparkan keunggulan perspektif ekosufisme sebagai cara untuk memandang Alam. Ekosufisme tidak hanya membahas Alam dari aspek teknis pengelolaan sumber daya alam ataupun sekedar hubungan timbal balik manusia dengan Alam. Ekosufisme punya peran penting mengatasi krisis Worldview dengan menyuarakan pentingnya harmonisasi antara Alam dengan Manusia dengan tujuan teologis penyerahan diri kepada Allah ta’ala dan bukan sekedar teleologis duniawi. 

Orang-orang barat telah banyak membuat teori tentang cara pandang terhadap Alam. Salah satunya adalah Deep Ekologi yang dikembangkan Arne Naees tahun 1970-an. Gerakan ini menentang perspektif Shallow Ekologi yang memandang Alam berperan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Deep Ekologi ingin mengubah cara pandang terhadap Alam yang semuanya antroposentris menjadi Ekosentris yang berfokus untuk mempertahankan ekosistem, bukan keuntungan manusia semata. Namun, aspek transendensi tidak begitu tampak dalam gerakan ini. Berbeda dengan Ekosufisme yang berakar dan berpuncak pada yang Transenden.

Mengapa transendensi penting dalam aspek ekologis ini? Penolakan atau penghapusan transendensi dalam aspek kehidupan memiliki peluang yang lebih besar untuk menimbulkan kerusakan dan kekerasan. Erich Fromm menjelaskan bahwasanya permasalahan transendensi terjadi ketika manusia tidak mampu mengatasi kondisinya sebagai ciptaan. Guna mengatasi peranan pasif tersebut, manusia bertindak aktif untuk mencipta dengan memanfaatkan alam. Manusia dalam mewujudkan kebutuhan transendensinya menghadapi suatu permasalahan ketika ia tak sanggup untuk  mencipta. Guna mengatasi kegagalannya dalam mencipta ada satu jalan alternatif yang buruk bagi manusia untuk berpartisipasi aktif dalam mengubah dunia sebagaimana yang diungkapkan Freud : “There is another answer to this for trancendence: “if I can not create life, I can destroy it. To destroy life makes me also transcend it” (Ada jawaban lain mengenai transendensi: jika saya tidak dapat menciptakan kehidupan, saya dapat menghancurkannya. Menghancurkan kehidupan juga membuat saya dapat melampauinya). Dalam monolog Gunung Rinjani pada pagelaran kemarin, Gunung Rinjani mengeluhkan orang-orang yang ingin mempersolek Gunung Rinjani dengan cara-cara yang artifisial. Padahal Rinjani hanya ingin cantik apa adanya sebagaimana Tuhan menciptakannya. 

Penutup dari acara tersebut, saya terkesan dengan teriakan lantang dari AS Rosyid yang mengatakan “Tidak ada yang bisa merusak Rinjani; Kalau ada, itu adalah orang Sasak sendiri” pernyataan itu sungguh tajam dan benar adanya. Pasca aksi heroik evakuasi Agam Rinjani yang menyelamatkan tubuh pendaki asing yang jatuh di lereng Rinjani, Seluruh dunia menaruh perhatian pada Rinjani. Muncul pula wacana bahwa Rinjani milik dunia. Saya setuju dengan wacana tersebut bahwa Rinjani bukan milik suku tertentu, Orang-orang wilayah geografis tertentu, agama tertentu. Rinjani adalah semua mahluk di dunia. Kata “milik” dalam wacana tersebut seharusnya menuntut rasa memiliki bukan kepemilikan (penguasaan). Namun kesadaran memiliki tersebut tampaknya masih parsial;  terbatas pada Rinjani sebagai monumen fisik saja. Eksistensi Rinjani bukan hanya sekedar soal Gunung (secara fisik) tapi Rinjani juga soal budaya yang lahir dari rahimnya, ajaran-ajaran nilai luhur yang diasah asih dan asuh dengan kelembutannya, tradisi-tradisi adat yang tergelar di serambi-serambinya. Maka pada orang-orang Sasak lah beban dan tanggung jawab lebih dari rasa memiliki Rinjani itu bersandar. 

Leluhur Sasak 3500 SM lalu memulai peradaban berlandaskan tauhid ini di Rinjani. Gunung Rinjani telah menjadi sumber inspirasi penciptaan leluhur Sasak dalam membangun peradaban. Bertahun-tahun mereka membangun teknologi, sistem sosial, kesenian, tradisi. Beragam tantangan alam, pertempuran, saling silang budaya telah dilewati dan apa yang kita sebut dengan Sasak masih bertahan sampai saat ini. Rinjani telah melahirkan dan mewariskan pandangan dunia (Worldview Sasak) yang kokoh dan mampu mengatasi tantangan zaman. Warisan tersebut tersebar ke seluruh penjuuru gumi Sasak, ke hutan, sawah, ladang, laut pesisir melalui benak batin (cipta, rasa, karsa) orang-orang Sasak. Merusak Rinjani bukan hanya berarti mengotori bentang alamnya, tetapi ketika Orang-orang Sasak mulai mengotori dan meninggalkan benak batin yang diwariskan oleh Leluhur-leluhurnya, itupun merupakan tindakan merusak Rinjani. 

Wallahu a’lam…. 

Tentang Penulis

Lalu Muhammad Ilham Fajri, tinggal di Praya Lombok Tengah. setelah menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sasatra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta, kini melanjutkan pendidikannya di Prodi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram. Berkegiatan di Wikimedia Bahasa Sasak dan mengembangkan portal literasi Aira Book Gaze. Dapat disapa melalui sosial media instagram: @lmif81.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *