Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh: Suci Nor Afifah
Dewasa ini kita dibuat cemas ketika melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang semakin kabur dari spirit mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, kita disuguhi pemberitaan buruk yang datang dari dunia pendidikan; pelecehan seksual, penggunaan obat terlarang, hingga bullying yang berujung pada hilangnya nyawa seorang murid. Hal tersebut membuat kita bertanya, mengapa “sekolah”, suatu institusi pendidikan yang diharapkan mampu memberikan ruang aman dan pembentuk moralitas bangsa, justru menjadi tempat dimana proses dehumanisasi marak terjadi?
Roem Topatimasang dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (1998), menjelaskan bahwa sekolah (school) berasal dari kata skhole (yunani) yang berarti “free time” atau “waktu senggang”. Hal ini merujuk pada tradisi Yunani awal dimana pada waktu luang, orang-orang mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai untuk mempelajari apapun yang ingin mereka ketahui. Mereka menyebut tradisi tersebut dengan istilah skhole, scola, scolae atau schola.
Maka dengan adanya tradisi tersebut, orang-orang Yunani merasakan kegembiraan dan kesenangan, hingga muncul kalimat Gaudemus igitur iuvenes dum sumus yang berarti “Bahwa karena itu, bersenang-senanglah ketika kita masih muda”, dalam konteks menemukan ilmu pengetahuan melalui tradisi Skhole. Hal ini sejalan dengan kata-kata Ki Hajar Dewantara yang mengatakan; Semua orang adalah Guru, Semua tempat adalah sekolah.
Lantas mengapa sekolah, tempat yang menyenangkan untuk menimba ilmu pengetahuan itu berubah menjadi bangunan tempat bersarangnya berbagai permasalahan bagi suatu generasi? Hal itu terjadi, tidak lain akibat dari cara pandang segelintir golongan yang menjadikan sekolah sebagai institusi yang sangat komersil.
Komersialisasi yang Selalu Mengikuti Perkembangan Zaman
Di Indonesia, pendidikan dipandang sebagai suatu aspek yang penting. Saking pentingnya, kebijakan pemerintah melalui UUD menetapkan bahwa 20% dari dana APBN diperuntukkan kepada sektor pendidikan. Alokasi anggaran yang sangat besar tersebut merupakan amanat konstitusi yang bersumber dari UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Jika dilihat dari pemenuhan anggaran minimal untuk fungsi pendidikan, pemerintah terkesan berhasil dalam memenuhi mandat tersebut. Puncaknya terjadi di tahun 2024, dimana anggaran fungsi pendidikan mengalami kenaikan pada nominal 665 Triliun di era kementerian Nadiem Makarim.
Keseriusan pemerintah dalam membangun sistem pendidikan untuk mewujudkan generasi bangsa yang cerdas juga terlihat dari penyusunan Peta Jalan Pendidikan (PJP) tahun 2025-2029 yang selalu diperbarui oleh Kementerian PPN beserta Bappenas. Semua aspek dibahas dalam PJP tersebut mulai dari permasalahan fasilitas, akses pendidikan, berbagai kurikulum, pilihan metode dijabarkan. Hal tersebut dimaksudkan agar mendapatkan model pembelajaran terbaik yang ditujukan untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang “utuh” sebagai manusia indonesia. Namun segala proses tersebut terinterupsi oleh satu hal yang menjadi permasalahan serius hingga saat ini; komerisalisasi di bidang pendidikan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 240 kasus korupsi di sektor pendidikan, berhasil ditindak oleh aparat penegak hukum sepanjang tahun 2016 hingga 2021. Kasus korupsi tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar 1,6 triliun. ICW menyebutkan bahwa pelaku korupsi berasal dari pegawai negeri sipil di dinas pendidikan, petugas pengadaan, kepala sekolah hingga kepala daerah dan anggota DPR/DPRD. Begitulah temuan ICW yang disampaikan oleh Pusat Edukasi Antikorupsi pada 10 Juni 2024.
Kurikulum Ala Kolonial
Sebenarnya darimana komersialisasi pendidikan formal ini dimulai? Tidak ada literatur yang pasti. Namun jika kita ingin memahami fenomena yang terjadi saat ini, penuturan sejarah menjadi salah satu metode untuk menggali asal mulanya. Rute awal yang bisa kita kaji adalah masa dimana kolonialisme mulai bercokol di Indonesia.
Penerapan Politik Etis pada tahun 1901 oleh parlemen Belanda yang menginginkan modernisasi di wilayah kolonial adalah cikal-bakal lahirnya pendidikan formal di Indonesia. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan para pribumi, namun untuk sekedar memberikah pengetahuan dalam kerja administratif.
Dikutip dari tulisan Gusseno Hastantyo yang berjudul Membaca Pendidikan di Era Kolonial (Feb, 2018) dalam Medium.com, Edukasi yang diberikan pada masa kolonial hanya ditujukan untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial dalam melanggengkan eksploitasinya membutuhkan tenaga terdidik untuk menjalankan sistem administrasi kolonial yang penyelengaranya disebut ambtenaar/pegawai negeri pribumi. Selain kebutuhan administratif, ambtenaar dimaksudkan untuk memisahkan golongan pribumi dengan pribumi lain.
Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) adalah salah satu golongan terpelajar yang mengutarakan kritik keras terhadap sistem pendidikan ala kolonial ini. Ki Hajar mendirikan Taman Siswa sebagai antitesis atas pendidikan formal yg bercorak politis dan diskriminatif. Selain Taman Siswa, muncul pula gerakan edukasi kritis lain seperti Muhammadiyah (K.H Ahmad Dahlan) dan SI School yang merupakan bagian dari Sarekat Islam fraksi Semarang yang dibentuk oleh Tan Malaka, Semaoen dan Alimin.
Dalam buku Ki Hajar Dewantara (1962) Bagian Pertama: Pendidikan. Kritik Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan kolonialime adalah; (1) Intelektualis, yakni sifat berfikir semata (tahu hanya untuk mrngetahui, bukan mengamalkan), (2) Individualistis, yakni mengagungkan hidup diri dan tidak mementingkan hidup bersama, (3) Materialistis, yakni mengutamakan kenikmatan hidup dan tidak menghargai nilai-nilai kebatinan.
Warisan pendidikan ala kolonial yang dikritik oleh Ki Hajar Dewantara inilah yang kemudian masih tersisa hingga saat ini. Sekolah hari ini seolah dipandang sebagai penentu strata sosial tertentu oleh masyarakat. Semakin mahal sekolah, semakin berprestasi siswanya, semakin tinggi value seseorang dimata masyarakat. Hal ini membekas dan membuka celah untuk terjadinya tindakan koruptif yang menjadikan sekolah sebagai bisnis yang menggiurkan seperti suap, penggelapan, hingga penyelewengan anggaran. Perilaku tersebut yang akhirnya menimbulkan banyak masalah dalam dunia pendidikan, sehingga anggaran yang besar tersebut akhirnya tidak tepat sasaran dan mentah secara substansi.
Tantangan Indonesia Emas 2045
Indonesia memiliki visi Emas 2045, sebagai Negara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Dikutip dari dokumen Indonesia Emas 2045, RPJN 2025-2045 disebutkan beberapa sasaran visi, yaitu; Pendapatan perkapita setara negara maju, Kemiskinan Menurun dan ketimpangan berkurang, kepemimpinan dan pengaruh di dunia Internasional meningkat, daya saing SDM meningkat dan yang terakhir Intensitas Emisi GRK menurun menuju net Zero Emisi. Visi besar yang diharapkan terwujud pada 20 tahun mendatang diharapkan menjadi ”kado” 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Istilah Generasi Emas 2045 muncul sebagai generasi yang disiapkan untuk mampu mewujudkan visi besar tersebut. Pada tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi sebanyak 70% penduduk dengan usia produktif.
Artinya, jika sebanyak 70% penduduk dalam usia produktif ini tidak mampu dikelola dengan baik, justru akan menimbulkan banyak masalah sosial seperti angka kemiskinan yang ikut naik, kesehatan masyarakat yang memburuk serta kerusakan lingkungan yang ekstrim. Data yang didapat dari PJP 2025-2045, selain masalah akses pendidikan berkualitas masih belum merata, tercatat 1.377.854 anak dari kelompok 25% termiskin tidak bersekolah. Selain kemiskinan, isu kehamilan anak usia sekolah (32,94%), isu kriminalitas anak usia sekolah (1.639 napi anak) dan penyalahgunaan narkotika juga menjadi agenda mendesak pendidikan nasional.
Dalam hal ini, ada beberapa gagasan strategis yang mungkin bisa diposisikan sebagai sarana mitigasi dalam menyongsong Indonesia emas 2045 antara lain; pertama, mereformasi para pejabat kementerian pendidikan, dinas pendidikan hingga melakukan audit kinerja kepala sekolah demi mewujudkan aliran APBN yang tepat dan akurat.
Yang kedua, melakukan desentralisasi kurikulum. Indonesia tidak kekurangan tokoh pendidikan populer; mulai dari Ki Hadjar Dewantara hingga Prof. H.A.R Tilaar yang memiliki gagasan pendidikan pembebasan. Kita telah banyak melakukan kritik terhadap kurikulum, yang terakhir yaitu kritik terhadap kurikulum merdeka yang sebenarnya 70% ingin mendorong individuasi siswa dengan memperbesar peran siswa dalam belajar. Zonasi dan penghapusan UAN sebagai syarat kelulusan merupakan satu langkah maju yang harus diperbaiki teknis pelaksanaanya.
Selanjutnya menurut saya, penguatan peran kementerian pendidikan yang saat ini dinahkodai oleh Prof. Abdul Mu’ti, dalam handling digital. Digitalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa kita tolak namun dapat dikontrol. Melalui media digital, siswa bisa mengakses ilmu pengetahuan, namun bisa juga melakukan perundungan siber. Melalui media digital, siswa bisa mengkesplorasi kreativitas namun juga bisa menjadi target pelecehan seksual. Maka, pendidikan Indonesia harus dapat masuk ke ruang-ruang digital sebagai sarana kontrol. Hal ini tentu tidak bisa terlaksana tanpa peran serta keluarga dalam menciptakan lingkungan yang positif. Maka sinergi antara kementerian pendidikan dan keluarga siswa dapat dilakukan dengan melakukan survey rutin untuk menggali permasalahan perkambangan anak, diubah kedalam data yang dapat dianalisis dan dicari akar permasalahannya.
Saya rasa, menyiapkan generasi emas memang harus dilaksanakan oleh mental menteri yang “Mau repot” karena memang begitulah yang dilakukan oleh pendahulu mereka yang “paling ribet” demi membangun Indonesia Emas yang akan kita songsong pada tahun 2045.
Tentang Penulis
Suci Nor Afifah, Penulis di beberapa media online dan media cetak. Alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan. Saat ini mendirikan gerakan literasi Arus Puan, dengan fokus kajian mengenai isu perempuan dan lingkungan. Bisa disapa melalui akun Instagram : @suciahimsa_