Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh : Achmad Mahbuby
“Ganti menteri ganti pula kurikulumnya” merupakan istilah yang acapkali muncul ketika pergantian menteri pendidikan di Indonesia. Tak jarang dibuatnya gaduh tentang nasib kebijakan lama yang bahkan belum sepenuhnya terimplementasikan secara merata, dalam satuan pendidikan di Indonesia. Kurikulum merdeka menjadi salah satu dari banyaknya kebijakan yang dicetuskan menteri sebelumnya.
Dilansir dari Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo dalam sidang komisi X DPR RI yang disiarkan melalui akun Youtube DPR RI, tercatat 73 persen dari seluruh satuan pendidikan di Indonesia yang telah menerapkan kurikulum merdeka. Presentase tersebut hanya dinilai berdasarkan kuantitas pelaksanaan kurikulum merdeka namun, belum dihitung berdasarkan kualitas pelaksanaannya dalam satuan pendidikan di Indonesia. Apabila menilik tentang kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum 2013, tercatat secara kualitas pelaksanaannya yang belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan secara tepat oleh satuan pendidikan. Lantas bagaimana nasib kurikulum merdeka kedepan?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti menyampaikan akan melakukan pengkajian ulang beberapa kebijakan yang dinilai pro-kontra, salah satunya tentang kurikulum merdeka. Hal tersebut Ia sampaikan ketika pidato serah terima jabatan dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat kemungkinan kurikulum merdeka bisa saja berubah ataupun dibiarkan namun, dengan konsep implementasi yang berbeda, mengingat Prof. Abdul Mu’ti pernah mengkritik keras penerapan merdeka belajar karena bukan sesuatu hal yang baru dalam dunia pendidikan.
Menilik pengalaman penulis menjadi seorang guru di Sekolah Dasar, kebijakan perubahan kurikulum yang semula kurikulum 2013 menjadi kurikulum merdeka telah memakan waktu penyesuaian yang cukup lama. Bahkan pertahun 2024 ini, kurikulum merdeka belum berhasil diimplementasikan secara merata.
Pengalaman tersebut memberikan fakta tentang bagaimana lamanya penyesuaian kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat kepada tataran grassroot, mulai dari penyesuaian bahan pembelajaran, ruang pembelajaran, program-program sekolah hingga yang paling fundamental adalah kompetensi guru yang perlu disesuaikan pula untuk mendukung kurikulum yang ditetapkan. Tidak cukup waktu untuk penyesuaikan kebijakan baru tentang penerapan kurikulum selama 6 tahun, lantas akankah pengkajian ulang tentang kurikulum merdeka menghasilkan kurikulum baru di periode kepemimpinan Prabowo-Gibran ? jika demikian, maka bukan kurikulum yang perlu ditinjau ulang, akan tetapi keputusan pengkajian ulang yang harus ditinjau ulang.
Pengimplementasian kurikulum merdeka pada satuan pendidikan di Indonesia tidak dipungkiri menulai pro-kontra, baik dari generasi tua yang dulunya merasa pendidikan konvensional efektif dalam pengajaran, hingga generasi muda yang pernah merasakan dampak baik buruknya pendidikan konvensional yang diberikan. Salah satunya Wakil Presiden RI ke-6 Jusuf Kalla dari perspektif penganut pendidikan konservatif, ikut soroti implementasi kurikulum merdeka yang dinilai kurang realistis untuk memerdekakan 70.000 siswa. Ia juga mengungkapkan bahwa tidak merdeka saja tidak belajar, apalagi merdeka.
Pernyataan tersebut mungkin hasil dari pendidikan yang selama ini Beliau dapatkan namun, tidak bisa dipungkiri dalam setiap kurikulum yang ditetapkan pastilah menuai pro-kontranya masing-masing. Penulis sendiri merasa trauma pada penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang terlalu menekan psikologis untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan diharuskan bersaing dengan rekan sebangku sekolah, tak sedikit rekan dikeluarkan dari sekolah karena tidak memenuhi standar kualifikasi hingga berimplikasi pada munculnya predikat “sekolah buangan” beberapa tempat di Surakarta pada waktu itu.
Justru secara konseptual, kurikulum merdeka saat ini seperti membawa angin segar dalam pendidikan Indonesia yang lebih mengedepankan aspek perkembangan dan psikologis siswa dengan menghadirkan pembelajaran yang inklusif namun, tak jarang pula yang tidak sepakat.
Beberapa pernyataan tersebut menghasilkan pertanyaan “Apakah dengan melakukan perubahan kurikulum nasional dapat mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia ?” Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan konklusi realitas perkembangan penerapan kurikulum di Indonesia yang dalam setiap penerapannya pastilah memiliki permasalahannya masing-masing hingga tak jarang menghasilkan permasalahan baru tanpa menjawab permasalahan yang sudah ada.
Seyogyanya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) perlu merevisi wacana pengkajian ulang kurikulum merdeka dan diganti dengan wacana pemikiran tentang pemulihan pendidikan tanpa melakukan suatu perubahan yang sudah ada, yaitu kurikulum merdeka, apabila perubahan kebijakan tentang pendidikan tidak dinilai sebagai legitimasi seorang berkuasa. Pasalnya di Indonesia, perubahan kurikulum tidak dapat jauh dari pengaruh politik kekuasaan.
Pemulihan tanpa pengubahan perlu digencarkan dengan alasan bahwa, Pemerintah Pusat perlu memfokuskan diri pada permasalahan inti pendidikan di Indonesia seperti kompetensi pengajarah guru hingga sarana dan prasarana satuan pendidikan dalam meningkatkan kualitas pengajaran. Paradigma tersebut seyogyanya perlu terpatri pada setiap pergantian kepemimpinan di Indonesia.
Konsep tentang pemulihan tanpa melakukan pengubahan, Pertama, dengan memberikan hak otonomi kepada satuan pendidikan untuk membuat dan menyesuaikan kurikulumnya sendiri, sehingga satuan pendidikan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik serta culture tiap daerahnya. Hal tersebut dapat memberikan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik serta pengajaran Culture Resposive Teaching (CRT) dapat terfasilitasi dengan baik.
Kedua, pembenahan sistem keprofesionalitasan guru sebagai seorang pendidik yang profesional. Termasuk pembenahan kompetensi guru yang kurang adaptif terhadap perkembangan zaman, pengajaran dan punishment yang masih konvensional serta minimnya penguasaan literasi guru. Beberapa hal tesebut menjadi aspek fundamental karena guru adalah kurikulum itu sendiri sehingga, sebagaimana pun kebijakan kurikulum diubah, tidak akan ada bedanya ketika seorang guru tidak memiliki kompetensi keprofesionalitasan guru yang juga dituntut untuk terus belajar walaupun telah menjadi seorang guru.
Ketiga, ada istilah dalam pendidikan selain kurikulum yang berbentuk nyata dan dapat dilihat yaitu hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi yang meliputi budaya yang dibangun di sekolah, pengembangan sikap, karakter, kecakapan dan keterampilan siswa, penanaman nilai, norma, kepercayaan, pembelajaran budi pekerti, sopan santun dan masih banyak lagi. kurikulum tersembunyi inilah yang perlu diperkuat, karena ia merupakan cerminan dari hasil yang dipelajari di sekolah. Termasuk istilah guru “digugu lan ditiru” adalah sebagai percontohan siswanya, termasuk dari hidden curriculum itu sendiri.
Keempat, fokus pada pemerataan pendidikan di Indonesia dari Sabang hingga Merauke dalam berbagai aspek, seperti tenaga pendidik hingga sarana dan prasarana dalam mendukung kualitas pendidikan. Karena hingga saat ini, isu pemerataan pendidikan di Indonesia masih sangat eksis di umur negara yang telah mencapai 79 tahun pasca kemerdekaannya. Jika ingin Indonesia menjadi negara yang maju, maka fokuskan pembangunan pada pemerataan pendidikan untuk menghasilkan generasi emas kedepan.
Bebebrapa hal tersebut dapat menjadi pertimbangan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) ketika akan melakukan perubahan arah pendidikan Indonesia kedepan dengan tetap memperhatikan pokok inti permasalahan tanpa menambah permasalahan baru yang justru mengaburkan dari intinya.
Tentang Penulis
Achmad Mahbuby, S. Pd (Founder Komunitas Literasi TamanWacana, Guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Digdaya Bolon Colomadu, Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru Universitas Muhammadiyah Jakarta).