Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh : I Made Chandra Arya Putra
Akhir-akhir ini, istilah “single era” kian populer di kalangan anak muda. Sebuah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu individu menikmati masa-masa sendirinya untuk lebih produktif dan mandiri. Namun, ditinjau dari makna semantiknya, baik jomlo dan single memiliki arti yang sama. Namun, kenapa jomlo terkesan lebih “ngenes” dari pada single?
Fenomena ini dapat dijelaskan menggunakan teori relativitas linguistik, salah satu versi “lemah” dari teori linguistik determinis dari Benjamin Lee Whorf. Dalam teori ini, suatu bahasa dikatakan dapat MEMPENGARUHI persepsi, pikiran, dan tingkah laku dari penggunanya (Holmes, 2013). Dalam kata lain, makna yang sama dari suatu hal dapat dipersepsikan berbeda tergantung dari bahasa yang digunakan. Dalam buku yang sama, Holmes menegaskan bahwa keadaan sosial budaya mempengaruhi perkembangan persepsi terhadap suatu makna.
Baik “jomlo” dalam bahasa Indonesia dan “single” dalam bahasa Inggris memiliki makna semantik yang sama. Namun, keadaan sosial budaya yang berbeda membuat kedua kata itu memiliki makna pragmatik yang berbeda. Reynolds et al. (2011) mengatakan bahwa budaya Indonesia, sebagai penganut collectivist, memberikan nilai lebih pada kebersamaan dan mengecam kesendirian. Sementara budaya barat, sebagai penganut individualist, memberikan nilai lebih pada kemandirian.
Perspektif budaya di atas membentuk persepsi yang timbul dari kata tertentu. “Jomlo” dianggap negatif karena berlawanan dengan budaya kebersamaan yang dianut Indonesia. Jomlo yang berarti sendiri dianggap tidak bagus dan sebaiknya mencari pasangan agar membentuk kolektif. Sedangkan “single” dianggap positif karena sejalan dengan budaya barat yang mengutamakan kemandirian. Singkatnya, “jomlo” negatif karena budaya Indonesia mengutamakan kebersamaan sedangkan “single” positif karena budaya Barat mengutamakan kemandirian. Dua kata yang memiliki arti sama namun dipersepsikan berbeda tergantung keadaan sosial budaya dari tempat kata itu berasal.
SUMBER:
1. Holmes, J. (2013). An Introduction of Socioinguistics. New York: Routledge.
2. Reynolds, S. Valentine, D., & Munter, M. (2011) Guide To Cross-Cultural Communication. Prentice Hall: Pearson Education Inc.
Tentang Penulis
Sebagai seorang lulusan pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Mataram, ia sangat tertarik kepada pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Bukan hanya mengajar, ia aktif mengkritisi model pembelajaran berdasarkan teori linguistik yang ia dapatkan melalui hasil diskusi, membaca artikel, atau bahkan meneliti sendiri. Baru-baru ini, penelitiannya dalam bidang linguistik berhasil mengembangkan teori akomodasi komunikasi dan diabadikan dalam editor’s list sebagai salah satu artikel yang berkontribusi besar dalam bidang tertentu. Arya, panggilan akrabnya, dapat disapa melalui beberapa media sosial:
Instagram: aryathemselves
Facebook: Made Chandra Arya Putra
Asik, ngulik penggunaan kata dari sudut pandang budaya dan linguistik. Suka nih karna hal2 yang ak pertanyakan ‘kok bisa gitu’ ternyata ada jawabannya lewat teori linguistik
Ak juga nyadar si kalo di sosmed orang2 make diksi kaya “jomlo” vs “single” tuh bisa ngasih efek pemaknaan yang beda banget yah.. Padahal ya, dua-duanya artinya sama2 sendiri
Bagian favoritku tuh part bahas soal budaya kolektif Indonesia yang nganggep kesendirian itu negatif, makanya kata “jomlo” ikut jadi terkesan ngenes. Sementara di budaya barat yang individualis, kesendirian itu dilihat sebagai bentuk kemandirian, jadi kata “single” malah terkesan keren dan powerful, kaya orang yang pake diksi itu lagi fokus ke self improvement gitu. Jadi inget materi kuliah Cross Cultural Understanding, ehe
Thankyou loh insight-nya dapet banget sih. Jadi lebih paham tentang teori relativitas linguistik