Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh : Edi Yarta Hakim
Perguruan tinggi, atau kampus, berperan sebagai institusi utama dalam menyebarkan pemahaman ilmu pengetahuan yang beragam, dengan pendekatan pendidikan yang integratif dan komprehensif. Hal ini berarti bahwa berbagai aspek materi pendidikan saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, pendidikan di perguruan tinggi tidak hanya berfokus pada pengembangan kualitas kognitif dan psikomotorik, tetapi juga pada kemampuan individu untuk beradaptasi dengan dinamika sosial yang terjadi. Menurut Jean Piaget, pendidikan harus selaras dengan perkembangan kemanusiaan, yang berarti bahwa pendidikan harus memperhatikan kemampuan individu dan perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam konteks perguruan tinggi
Eksistensi perguruan tinggi (kampus) selalu ditandai sebagai wadah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadikan masyarakat di dalamnya mampu berpikir kritis, dan dapat memberikan pandangan secara universal ketika menilai suatu hal. Kampus adalah miniatur masyarakat yang kaya akan keragaman di dalamnya. Berkumpulnya mahasiswa ataupun pendidik dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, etnis, dan budaya, menjadikan kampus mampu berperan penting dalam memberikan pemahaman terkait dengan keberagaman.
Namun, pandangan keberagaman yang dimiliki perguruan tinggi (kampus) akan berbeda konteks ketika kita berbicara tentang keberadaan rambut gondrong. Rambut gondrong di dalam perguruan tinggi masih memiliki anggapan negatif. Seolah-olah kita akan di ajak berwisata kembali ke masa orde lama, maupun orde baru. Dimana ketika pada masa itu, fenomena yang terjadi adalah rambut gondrong kerap kali disandingkan dengan mengikuti trend barat, hingga pada masa orde lama dibawah pemerintahan presiden Soekarno menyatakan bahwa rambut gondrong merupakan simbol yang anti pada revolusioner.
Sama halnya, pemerintahan Soeharto pada masa orde baru, dimana waktu itu puncak trend dari pada rambut gondorong. Presiden Suharto dengan otoritasnya pun mengemukakan jika rambut gondorong menjadi simbol sikap apatis terhadap bangsa dan negara Indonesia, hingga dilarang dan dilegitimasi pada aturan.
Padahal, pasca pemerintahan orde baru pada tahun 1998, menuju era reformasi dari 1998 sampai hari ini, banyak dari anak muda membiarkan rambutnya gondrong sebagai identitas. Menurut Asmayadi dalam penelitiannya Laki-laki dengan rambut gondrong sering kali dipersepsikan memiliki citra maskulin dan tangguh. Selain itu, mereka juga kerap dianggap sebagai individu yang pemberani, jujur dan kreatif.
Seperti penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan mahasiswa dengan gaya rambut gondrong di perguruan tinggi bukanlah tanpa alasan dan makna yang kuat. Salah satu manfaat memiliki rambut gondrong adalah peningkatan kepercayaan diri mahasiswa di lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan gaya penampilan yang unik dan berbeda, di mana rambut panjang sering kali diidentikkan dengan citra pria yang tangguh, berani, jujur, dan kreatif. Sehingga, mahasiswa dengan rambut gondrong cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi karena penampilan mereka mencerminkan kepribadian yang kuat dan kemampuan untuk mengekspresikan diri secara autentik.
Namun reaitas apa yang terjadi pada perguruan tinggi (kampus) ketika melihat keberadaaan mahasiswa berambut gondrong?, banyak pendidik, maupun petinggi kampus sampai saat ini masih bestigma negatif terhadap rambut gondrong, apalagi mendekati perayaan wisuda. Para pendidik maupun petinggi kampus mendadak berasumsi bahwa rambut gondrong dianggap sebagai seseorang yang tidak rapi dan susah di atur. Tentu hal ini menjadi kontadiktif dengan penjelasan bahwa perguruan tinggi (kampus) berperan sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, memungkinkan masyarakatnya untuk berpikir kritis serta memberikan pandangan secara universal dalam menilai suatu hal.
Dapat saya simpulkan bahwa Persoalan keberadaan rambut gondrong di perguruan tinggi (kampus) masih menjadi ironi yang mencerminkan nilai paradoks di dalamnya. Di karenakan, para pendidik maupun petinggi kampus yang mendorong agar mahasiswanya mampu berpikir secara kritis dan memiliki pandangan universal dalam menilai suatu hal. Namun di sisi lain, mereka sendiri gagal dalam memandang mahasiswanya secara universal, dan berasumsi bahwa mahasiswa yang memiliki rambut gondrong adalah mahasiswa yang tidak rapi dan susah diatur. Sehinggaa hal ini mengingatkan saya pada salah satu peribahasa “Senjata Makan Tuan”, yang bermakna, di mana para pendidik/petinggi kampus yang seharusnya mereka mampu dalam menerapkan nilai-nilai yang mereka ajarkan, namun malah mereka sendiri menjadi contoh kegagalan dalam menerapkan nilai-nilai yang mereka ajarkan.
Tentang Penulis
Edi Yarta Hakim tinggal di Bayan, gerunung, Praya, lombok tengah. Ia
aktif di salah satu komunitas bernama Bawah Atap Brilian (BAB) yang berperan aktif terhadap isu², pendidikan, sosial dan kebudayaan. Dapat disapa melalui akun Instagram: @yartaedi