Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh: Lalu Muhammad Ilham Fajri
Rana Silviana adalah teman sekelas Saya semasa SMA. Dari dulu, kawan saya ini memang menyukai hal-hal berbau seni, terutama seni rupa. Setelah lulus, ia melanjutkan kuliah di jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Beberapa waktu lalu, saya melihat karya-karya Lukis tugas akhirnya di kampus Melalui sosial media. Lukisan-lukisan tersebut mengangkat Legenda Putri Mandalika, sebuah cerita rakyat dari Lombok. Saya turut bangga kawan saya membawa kekayaan lokalitas Lombok ke dalam ruang-ruang seni yang lebih luas. Lewat sapuan kuas dan komposisi warna yang kuat, Rana mampu menyampaikan pesan mendalam dari legenda tersebut.
Setelah melihat lukisan-lukisan karya Rana Silviana, saya langsung teringat pada sebuah penelitian yang pernah saya baca tentang budaya merarik. Dalam disertasi berjudul “Adat Merarik dalam Perspektif Kesehatan Maternal pada Masyarakat Suku Sasak di Kabupaten Lombok Tengah” karya Lalu Sulaiman (2017), dijelaskan bahwa Legenda Putri Mandalika memiliki kaitan erat dengan praktik budaya merarik di Lombok, khususnya di wilayah Lombok Tengah[1]. Rasa penasaran saya pun makin besar, sampai akhirnya saya menghubungi Rana untuk melihat lebih lanjut lukisan-lukisannya. Saya juga meminta izin untuk menginterpretasi dan mempublikasikan lukisan-lukisannya di website ini. Jujur saja, saya sempat ragu karena saya bukan orang yang ahli di bidang seni lukis. Tapi menurut saya, karya seni memang terbuka untuk banyak tafsir.Atas izin pelukisnya, akhirnya saya memberanikan diri untuk membagikan sudut pandang saya terhadap lukisan-lukisan Rana yang menurut saya menyuarakan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan visual.
Legenda Putri Mandalika berasal dari Lombok dan sudah lama hidup dalam ingatan masyarakat setempat. Dikisahkan, Putri Mandalika adalah seorang putri cantik dan bijaksana dari Kerajaan Tunjung Biru. Kecantikannya membuat banyak pangeran dari berbagai kerajaan melamar dan memperebutkannya, hingga nyaris terjadi perang. Untuk menghindari pertumpahan darah, Putri Mandalika memilih jalan pengorbanan: ia melompat ke laut dan dipercaya berubah menjadi nyale (cacing laut) yang muncul setiap tahun di pantai selatan Lombok. Pengorbanannya dipandang sebagai wujud cinta dan tanggung jawab terhadap rakyatnya. Hingga kini, masyarakat Lombok masih memperingati kisah ini lewat tradisi Bau Nyale, yang menjadi bagian penting dari warisan budaya suku Sasak di Lombok.
Rana menggambarkan kisah Putri Mandalika melalui lima lukisan yang masing-masing dibuat di atas kanvas berukuran 100 x 80 cm. Kelima lukisan tersebut disusun mengikuti alur cerita legenda, seolah-olah mengajak kita mengikuti perjalanan hidup sang putri dari awal hingga akhir. Lukisan pertama berjudul Dari Tangan Sang Putri Untuk Rakyat, menggambarkan sosok Mandalika sebagai putri yang peduli dan dekat dengan rakyatnya. Lalu ada Dilema Sang Putri dan Janji Pengabdian, yang memperlihatkan kebimbangan dan beban batin Mandalika saat harus memilih di tengah tekanan banyak pihak. Lukisan ketiga, Pengorbanan Mandalika Melompat ke Abadian, menjadi titik klimaks ketika sang putri mengambil keputusan besar demi perdamaian. Kemudian disusul Mandalika dalam Pelukan Laut, yang menghadirkan suasana tenang namun menyayat, menggambarkan momen Mandalika menyatu dengan laut. Terakhir, Bau Nyale, sebagai penutup, menampilkan perayaan masyarakat atas warisan pengorbanan sang putri, yang tetap hidup melalui tradisi dan kenangan kolektif. Rana, merangkum kelima lukisan tersebut dalam tema, “Keindahan dan Pengorbanan dalam Legenda Putri Mandalika.
Dari lukisan pertama berjudul “Dari Tangan Sang Putri Untuk Rakyat” Saya menyadari bahwa sosok Mandalika yang dilukiskan oleh Rana, bukan sekedar Putri dari kerajaan. Mandalika digambarkan sebagai perempuan pejuang yang mau dan turut bertindak dalam urusan sosial masyarakat. Dalam lukisan tersebut, digambarkan sedang membantu rakyatnya dalam mempersiapkan rowah (semacam acara selamatan) yang diselenggarakan masyarakat. Mandalika bukanlah tipe Putri kerajaan yang hanya mengurus kemolekannya dan menyerahkan powernya (kekuasaannya) pada Raja, Ia memiliki visi dan keinginannya sendiri yakni menebar kebaikan dan membantu rakyat-rakyatnya. Lukisan Rana maupun Legenda Mandalika sendiri menggambarkan Mandalika sebagai perempuan yang menolak domestikasi. Urusan sosial masyarakat bukan hanya wilayah laki-laki, perempuan boleh terlibat dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Dalam banyak aspek kehidupan, saya melihat bahwa perempuan Sasak masih berada di posisi yang cukup termarginalkan. Sementara itu, posisi laki-laki justru sangat dominan dan cenderung superior. Ketimpangan ini bukan hal baru—ia sudah berlangsung lama dan menjadi semacam warisan dari sejarah sosial yang panjang. Marginalisasi perempuan dan dominasi laki-laki seringkali dianggap hal yang “biasa” karena sudah terlanjur mengakar dalam budaya. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, pola semacam ini justru menyulitkan perempuan untuk berkembang dan berperan lebih luas di ruang sosial. Rana, lewat lukisan-lukisannya, seolah sedang mengajak kita untuk merefleksikan ulang realitas ini—bahwa perempuan, seperti Mandalika, juga punya hak, suara, dan kekuatan untuk mengambil peran penting dalam kehidupan bersama.
Salah satu hal yang membuat perempuan Sasak masih berada di posisi yang termarginalkan adalah karena adanya mekanisme dominasi simbolik yang berlangsung secara halus dalam budaya masyarakat Sasak. Dalam istilah sosiolog Pierre Bourdieu, dominasi simbolik ini terjadi ketika ketimpangan diterima begitu saja sebagai sesuatu yang “wajar” karena sudah dibentuk oleh kebiasaan dan pola pikir kolektif—atau yang ia sebut sebagai habitus. Dalam konteks masyarakat patriarki, seperti yang masih cukup kuat di lingkungan Sasak, perempuan sering dianggap berada di “wilayah domestik”, sementara ruang publik dan pengambilan keputusan dianggap sebagai milik laki-laki. Pola ini terus diwariskan dari generasi ke generasi tanpa banyak dipertanyakan.[2] Maka ketika Rana lewat lukisan-lukisannya menampilkan sosok Mandalika sebagai perempuan yang aktif, terlibat, dan berdaya, saya merasa ia sedang “mengganggu” pola lama itu—mengajak kita untuk melihat ulang bahwa posisi perempuan tidak harus selalu di belakang, apalagi hanya sebagai pelengkap.
Lukisan kedua ini bercerita tentang momen ketika Putri Mandalika menerima banyak lamaran dari para pangeran kerajaan lain. Dalam legenda, Mandalika adalah putri dari Kerajaan Tunjung Biru yang terkenal bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kelembutan dan kebijaksanaannya. Banyak pangeran datang melamar, masing-masing berharap bisa meminangnya. Tapi justru di situlah dilema besar muncul. Mandalika bingung harus bersikap seperti apa—karena jika ia memilih satu pangeran, maka yang lain bisa merasa tersingkir, bahkan bisa memicu perang antar kerajaan. Sang Raja Tunjung Biru pun ikut merasa bimbang dan akhirnya menyerahkan sepenuhnya keputusan ini kepada sang putri. Dalam lukisan ini, digambarkan bagaimana Mandalika merenung untuk mencari jawaban terbaik. Setelah mantap dengan pilihannya, ia kemudian mengundang semua pangeran ke sebuah bukit di tepi Pantai Kuta, tempat di mana ia akan menyampaikan keputusan penting yang mengubah jalan hidupnya.
Dalam lukisan ini, raut wajah Mandalika digambarkan termenung dan lesu—seperti sedang memikul beban yang berat. Dari ekspresi itu, saya merasa bahwa keputusan untuk menikah bukanlah sesuatu yang benar-benar ia inginkan pada saat itu. Terlihat jelas bahwa ada keraguan yang dalam, bahkan semacam perasaan tertekan. Mandalika tampaknya menyadari bahwa para pangeran yang melamarnya lebih tertarik pada kecantikan dan kelembutannya, bukan karena cinta yang tulus. Ia juga mulai melihat bahwa pernikahan ini mempunyai muatan politis—sebuah strategi untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan antar kerajaan. Dalam posisi seperti ini, Mandalika bukan hanya perempuan yang dihadapkan pada pilihan pribadi, tapi juga ditarik-tarik oleh kepentingan besar yang ada di sekitarnya.
Lukisan ini menggambarkan adegan klimaks dari Legenda Putri Mandalika—momen paling menyentuh dan penuh emosi dalam keseluruhan cerita. Dikisahkan, Putri Mandalika mengundang seluruh pangeran yang pernah melamarnya untuk datang ke sebuah bukit di pinggir Pantai Kuta Mandalika. Di sana, mereka diminta berkumpul menjelang pagi, sebelum fajar menyingsing, untuk mendengarkan keputusan hasil munajat sang putri. Di hadapan para pangeran dan pengikutnya yang penasaran, Mandalika berdiri di tepian bukit curam, sosoknya tegar tapi raut wajahnya menyimpan kesedihan. Ia lalu menyampaikan keputusan yang sekaligus menjadi pesan terakhirnya:
“Wahai para pangeran beserta segenap pengikutnya. Saya tahu anda semua tidak ada yang mau mengalah, semua anda ingin meperistri saya. Nafsu serakah anda semua membuat saya sulit mengambil keputusan. Bila memilih salah satu dari anda maka malapetakan akan menimpa. Saya sangat mencintai rakyat saya, termasuk kalian semua. Kalian tidak boleh jadi korban gara-gara saya. Maka dari itu saya berpesan, bahwa nanti setiap tanggal 20 bulan ke 10 penanggalan Sasak, anda semua datang kesini untuk menemui saya, agar anda semua bukan saja para pangeran bisa menikmati saya”.
Begitu kata-kata itu selesai diucapkan, Mandalika tiba-tiba melompat ke laut, mengejutkan semua yang hadir. Jerit tangis pun pecah, rakyat memanggil-manggil nama sang putri yang sudah hilang ditelan ombak. Jasadnya tak pernah ditemukan. Namun, sejak saat itu, setiap tahun di waktu yang sama, muncul gerombolan cacing laut berwarna-warni di pesisir pantai—yang oleh masyarakat disebut sebagai Nyale—dan dipercaya sebagai wujud kembalinya Mandalika, sang putri yang memilih menjadi berkah bagi semua.
Dari lukisan Pengorbanan Mandalika Melompat ke Abadian dan Mandalika dalam Pelukan Laut tersebut, kita dapat merasakan kegetiran dari kisah Mandalika. Perempuan itu mengakhiri hidupnya dengan kisah tragis akibat menanggung nasib yang tak pernah diinginkannya. Menurut saya, kisah Mandalika tersebut juga dapat menggambarkan nasib kebanyakan Perempuan Sasak yang masih berada dalam bayang-bayang patriarki.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Tokoh Budayawan Sasak, Lalu Sulaiman (2017) dalam disertasinya menyampaikan Legenda Putri Mandalika erat kaitannya dengan budaya Merarik suku Sasak. Budaya merarik adalah tradisi pernikahan masyarakat Sasak yang diawali dengan prosesi “menculik” calon pengantin perempuan oleh pihak laki-laki. Proses merarik menjadi alternatif dari permasalahan pernikahan seperti yang dialami oleh Mandalika. Kisah persaingan lamaran para pangeran (laki-laki) dalam Legenda Mandalika menjadi salah satu masalah yang dilematis yang berujung pada malapetaka. Banyaknya lamaran yang diterima perempuan membuatnya berada dalam posisi dilematis. Sehingga laki-laki menjadikan merarik sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan dilematis tersebut. Di samping itu, merarik juga dilangsungkan karena adanya beberapa stigma yang hidup di masyarakat Sasak: (1) Tanda keberanian (kejantanan) laki-laki adalah berani merarik (melarikan calon mempelainya. (2) Jika pernikahan dilangsungkan dengan prosesi lamaran, ibarat laki-laki meminta anak perempuan gadis seperti meminta anak ayam. Kaum Wanita sangat berharga dan tidak boleh diminta. (3) Merarik dapat menghilangkan konflik yang timbul akibat perdebatan antara keduabelah pihak keluarga. (4) Merarik lebih praktis daripada melamar. Keempat stigma tersebut adalah bentuk kekerasan simbolik patriarki yang terselubung dalam habitus budaya.
Lebih lanjut dari hasil Penelitian Lalu Sulaiman tersebut, dipaparkan bahwasanya budaya Merarik tersebut kini malah mendatangkan masalah-masalah baru. Kasus pernikahan dini yang tinggi di Lombok salah satunya didukung oleh adanya Budaya Merarik ini. Dengan adanya budaya Merarik, pernikahan dapat lebih mudah dilangsungkan. Hal ini karena budaya Merarik menghilangkan prosesi lamaran sebelum pernikahan, di mana dalam prosesi itu seharusnya terjadi diskusi antara kedua belah pihak pengantin maupun keluarganya untuk memutuskan pernikahan agar pernikahan yang berlangsung dapat memberikan kemalahatan bagi mempelai dan keluarga. Bukan hanya sampai di situ, dampak dari pernikahan dini tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah lain seperti Kesehatan maternal (baik secara fisik maupun psikologis), masalah ekonomi keluarga, Kekerasan dalam Rumah Tangga, Perceraian, masalah stunting pada anak dari remaja yang menikah dini, dan masalah-masalah lainnya.
Kaum perempuanlah yang lebih banyak menjadi korban dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul akibat budaya merarik ini. Menurut Muslihun (2009)[3], tradisi perkawinan adat merarik di kalangan masyarakat Sasak turut memperkuat posisi superior laki-laki dalam rumah tangga. Bentuk superioritas ini tampak dalam berbagai hal, seperti sikap suami yang cenderung otoriter dalam pengambilan keputusan keluarga, serta pembagian peran domestik yang sepenuhnya dibebankan kepada istri. Bahkan, perempuan yang bekerja di luar rumah tetap dituntut untuk menjalankan tugas rumah tangga, sehingga menanggung beban ganda. Tradisi ini juga berkaitan dengan tingginya angka kawin-cerai di Lombok, serta terbukanya peluang poligami yang lebih besar bagi laki-laki Sasak dibandingkan etnis lain. Nilai perkawinan pun kerap dipandang sempit karena berkaitan dengan pelunasan pisuke (uang mahar).
Sepertinya kita perlu mempertanyakan lagi apakah budaya merarik ini masih perlu dipertahankan atau tidak oleh masyarakat suku Sasak? Tentu, pertanyaan tersebut cukup sensitif karena akan mengganggu prestise budaya masyarakat suku Sasak. Namun, ada baiknya kita berpikir kritis untuk menghadapi persoalan-persoalan yang kemudian timbul akibat adanya budaya merarik tersebut. Jika memang perlu dilestarikan, maka sebaiknya perlu adanya sosialisasi yang dapat mencerdaskan masyarakat tentang hakikat dan pelaksanaan yang benar dari budaya merarik untuk menghindari miskonsepsi dan praktik buruk yang mencemarkan adat budaya ini. Tentu, tokoh budaya yang menganggap budaya ini perlu dilestarikan perlu juga mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat saat ini, psikologi remaja muda-mudi, umur pernikahan yang sah dalam perspektif agama dan pemerintah, serta pertimbangan-pertimbangan lainnya yang dapat memberikan kemaslahatan dalam pernikahan. Mirisnya, praktik budaya merarik pada zaman ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai budaya suku Sasak itu sendiri. Perlu adanya tajdid berupa purifikasi dan modernasasi Kembali nilai-nilai budaya Sasak dalam budaya merarik sehingga nilai-nilai tersebut berjalan dinamis di zaman sekarang dan tetap mencerminkan keluhurannya.
Lukisan terakhir Rana berjudul Bau Nyale. Tradisi yang dijalankan setiap tahun oleh masyarakat Lombok, khususnya yang berada di Lombok bagian selatan. Masyarakat percaya bahwa Nyale adalah jelmaan dari Putri Mandalika setelah melompat ke laut. Tiap tanggal 20 bulan 10 penaggalan Sasak (kalender Rowot), masyarakat berbondong-bondong ke tepi pantai selatan Lombok tengah malam untuk bersiap-siap mengumpulkan nyale. Mereka membawa penyorok (jaring) dan senter sebagai peralatan. Ketia menjelang fajar, saat air laut mulai surut, masyarakat turun ke laut mengumpulkan nyale yang berenang-renang di tepi pantai.
Namun, sangat disayangkan dalam praktek bau nyale pun masih tampak adanya budaya patriarki yang sulit untuk dihilangkan. Ada mitos yang berkembang di masyarakat, Jika bersumpah serapah mengucapkan kata-kata kotor saat bau Nyale, maka nyale akan datang bergerombol menampakkan dirinya. Sampai saat ini masih ada yang percaya dengan mitos tersebut, dan mempraktekannya saat bau nyale. Miris sekali rasanya Ketika dalam perayaan bau Nyale yang diangkat dari kisah Mandalika, seorang perempuan yang berani berkorban untuk rakyatnya harus diwarnai dengan sumpah-serapah dengan kata-kata yang sangat kotor hanya karena masyarakat percaya akan mitos bodoh tersebut.
Lukisan-lukisan Rana Silviana bertemakan “Keindahan dan Pengorbanan dalam Legenda Putri Mandalika” ini mengajak kita untuk mengenal Kembali sosok Mandalika, Perempuan Tangguh yang berani dan mampu mengayomi rakyat. Saya sangat menyayangkan Legenda Mandalika di masyarakat Sasak hanya sekedari dijadikan nama sirkuit Moto-GP dan festival kebudayaan bau nyale, sedangkan pesan mendalam yang menyiratkan makna perjuangan perempuan Sasak menghadapi bayang-bayang budaya Patriarki jarang ditampilkan. Benarlah tema lukisan Rana, Keindahan dan Pengorbanan namun apresiasi terhadap pengorbanan Mandalika (Perempuan Sasak) masih perlu dipertanyakan. Lukisan-lukisan Rana tersebut dilukis dengan menggunakan Teknik Impesto, cat diterapkan sangat tebal di permukaan kanvas, sering kali dengan kuas besar atau pisau palet, sehingga bekas sapuan alat lukis terlihat jelas dan menciptakan tekstur tiga dimensi. Impasto sering digunakan untuk mengekspresikan emosi yang kuat. Emosi yang kuat dari sosok Mandalika menghadapi kondisi sosial budaya masyarakat Sasak berhasil dilukiskan oleh Rana dalam lukisan-lukisannya.
Kawan-kawan bisa melihat dan mengunduh katalog lukisan Rana Silviana di bawah ini:
Referensi
Sulaiman, L. 2017. “Adat Merarik dalam Perspektif Kesehatan Maternal pada Masyarakat Suku Sasak di Kabupaten Lombok Tengah NTB”. Disertasi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR.
Harker, R., Mahar, C., Wilkes, C. Habitus x Modal + Ranah= Praktik : Pengantar Paling Komperhensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieau. Jalasutra.
Muslihun. 2009. Pergeseran Pemaknaan Pisuka/Gantiran Dalam Budaya Merarik-Sasak Lombok. IAIN Mataram
Tentang Rana Silviana
Rana Silviana, biasa dipanggil Rana. Tinggal di Praya Lombok Tengah. Menyelesaikan studinya di Pendidikan Seni Rupa UNY. Senang melakoni dunia kesenian, khususnya seni rupa. Bisa di sapa melalui media sosial instagramnya: ranasilvya29_
SemangArt!
Tentang Penulis
Lalu Muhammad Ilham Fajri, menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta. Selama berkuliah, aktif di Komunitas Literasi Taman Wacana. Kini tinggal di Praya Lombok Tengah dan sedang mengembangkan Aira Book Gaze. Dapat dihubungi melalui sosial medianya : Instagram @lmif81.